Dana
Indonesiana
Judul Film: MANTAGI
Skenario: Fikri Nuril, Rahmat Hidayat, Fitrah Taqwa
Sutradara: Taufiq Hidayat Rusdi
DOP: Ardly. MPemeran: Husni Tamrin, Azhar MZ, Ide Bagus Putra, Didi
Hariadi, dllMelibatkan beberarap pelaku
sinematografi lintas daerah: Jihan, Ardly, Ibnu, Ogie, dan Loly
MANTAGI
Sebuah
film antologi berlatar daerah-daerah sakral dan legendaris di Jambi, mengangkat
tema tentang air, warisan, dan kutukan. Tokoh misterius bernama Mr. X
menjadi benang merah antar cerita—mewakili kekuatan tak kasat mata yang hadir
di setiap tempat yang tercemar oleh ketamakan, kehilangan makna, dan pelupaan
terhadap nilai-nilai warisan leluhur.
Ringkasan
Cerita:
Kisah
dimulai di Danau Gunung Tujuh, ketika seorang pria berjubah hitam, Mr.X,
muncul dan mengambil air danau dengan botol kaca lalu melakukan ritual
berdarah. Aksinya menjadi pertanda lahirnya gangguan supranatural yang akan
menyentuh kehidupan banyak orang di berbagai penjuru Jambi.
Di Lubuk
Nangodang, seorang remaja yatim piatu bernama Kasib hidup bersama
kakeknya, Nyantan, yang mendidiknya untuk menjaga hubungan sakral dengan
alam, khususnya sungai. Saat aliran PAM desa rusak, warga kembali mengambil air
dari sungai secara massal, mencemarinya dengan sabun dan limbah rumah tangga.
Kasib yang selama ini menjaga sungai merasa dikhianati. Konflik dengan sang
kakek memuncak hingga Kasib menghilang secara misterius. Anehnya, jerigen air
yang sebelumnya kosong tiba-tiba terisi, seolah campur tangan kekuatan gaib
tengah bermain.
Di
wilayah Merangin, dilema moral membebani Pak Jamal, seorang
perekrut tambang. Ia harus mencari “pengganti” pekerja yang hilang dalam
tambang misterius milik bos tambang bernama Pak Jarot. Anak kandungnya, Adnan,
tanpa sadar menjadi target. Sebuah sosok Pak Jamal palsu bahkan sempat
membawa Adnan naik rakit, menuju sesuatu yang jahat. Saat Pak Jamal sadar dan
berusaha mengejar, rakit mereka sudah menghilang di derasnya sungai. Ia hanya
bisa bersimpuh di tepi air, dihantui penyesalan.
Di
kompleks Candi Kedaton Muaro Jambi, sekelompok anak-anak bermain
permainan tradisional musang-musang. Namun permainan berubah jadi horor
saat Hasan tiba-tiba lenyap dan berubah menjadi batu. Teman-temannya
berjuang menyelamatkan Hasan menggunakan cawan emas dan air dari sumur
candi. Hanya air yang diperoleh dari penyesalan tulus yang mampu memulihkan
Hasan. Ketika Badrul, teman yang sempat mengejek, menangis dengan tulus
dan menyiram batu dengan air jernih, Hasan pun kembali mewakili penebusan dan
kekuatan maaf.
Terakhir, di Teluk Majelis,
seorang nelayan bernama Romi dikucilkan masyarakat karena dituduh
membawa kutukan rentenir dan petaka tambang ke kampungnya. Meski hidup dalam
pengasingan sosial, ia tetap membantu anak-anak di sekitarnya, seperti Sarah.
Romi menjadi representasi bahwa sekalipun dunia telah menuduh dan menjauh,
masih ada manusia yang memilih untuk membantu.
Arti MANTAGI
"Mantagi" berasal dari
bahasa Melayu Jambi dan juga dikenal dalam beberapa dialek daerah di
Sumatera, termasuk Minangkabau dan Kerinci. Kata ini memiliki beberapa makna
kontekstual tergantung pada intonasi dan penggunaannya dalam percakapan. Namun
dalam konteks lokal Jambi, "mantagi" umumnya berarti:
"menyentuh secara gaib",
"menghampiri secara tak kasat mata", atau "menghinggapi secara
halus tapi menghantam dalam."
Secara lebih luas, mantagi bisa
dimaknai sebagai:
1. Masuknya
pengaruh tak terlihat—baik dari alam, arwah leluhur,
kekuatan halus, atau sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara logika.
2. Tersentuh
atau terkena oleh sesuatu yang tak biasa, seperti kutukan, gangguan
makhluk halus, atau aura sakral.
Kegiatan
diawali dengan diadakannya lokakarya Film Omnibus Air & Manusia. Pada
tanggal 1 s.d 3 Mei 2025 di daerah Kawasan Percandian Muaro Jambi. Narasumber
bersal dari luar daerah dan dalam, yaitu Kepala BPK Wilayah V (Agus
Widiatmoko), Budayawan (Wenri Wanhar), Director of Potografi (Ardly Ma’ruf),
Sutradara (Jihan Angga), dan Ide Bagus Putra (Coach Talent), dimoderatori
Nukman.
Selanjutnya
dilanjutkan dengan proses shooting di 4 (empat) daerah yaitu Merangi, Kerinci,
Sabak, dan Muaro Jambi. Film melibatkan beberapa pelaku film dari beberapa
daerah, Bengkulu, Medan, Lampung, dan Yogyakarta. Semua bersinergi sesuai
dengan bidang masing-masing. Sedangkan dari Jambi sendiri terdiri dari beberapa
komunitas film, sanggar/teater, atau seniman perseorangan.
Menurut Wikipedia Film Omnibus adalah film
antologi atau film portmanteau merupakan film
tunggal yang terdiri dari tiga atau lebih film pendek, masing-masing lengkap
dalam dirinya sendiri dan dibedakan dari yang lain, meskipun sering dihubungkan
bersama oleh satu tema, premis, atau penulis. Terkadang disutradarai oleh
penulis yang berbeda, atau bahkan mungkin dibuat pada waktu yang berbeda atau
di negara yang berbeda.
Di Indonesia, film omnibus terkenal antara lain
Rectoverso: Cinta yang Tak Terucap, sebuah film antologi yang didasarkan pada
album musik karya Dewi "Dee" Lestari. Menurut
Taufiq Sutradara film Mentagi akan diperjuangkan untuk mengikuti Festival di
luar negeri, selain akan tayang juga secara nasional dan ditonton bersama juga
di Teater Arena Taman Budaya Jambi. Tayangan perdana juga akan direncanakan di
museum baru di kawasan Percandian Muaro Jambi. Hal ini secara langsung juga
telah disetujui Kepala BPK Wilayah V Agus Widiatmoko sebagaimana diusulkan
budayawan Wendri Wanhar. Penulis buku phenomenal Buku 'Bangsa Pelaut,
Kisah Setua Waktu' saat berjalannya lokakarya film Mantagi: Air & Manusia.
Film ini menurut Taufiq merupakan refleksi
perjalanannya dibeberapa daerah di Jambi terhadap keberadaan sungai dan budaya
yang melingkupinya. Pergeseran budaya ikut mempengaruhi bagaimana air telah
diperlakukan. Taufiq tidak berniat menegur hanya ingin menyetuh, dan diharapkan
kesadaran yang membuat air kembali diperlakukan sebagaimana mestinya. Air dalam
kesempatan diskusi diibaratkannya sebagai Ibu. Sumber kehidupan yang harus
dijaga.
Film ini tidak hanya sekedar produksi karya,
pelaku yang terlibat di dalamnya pun dituntut kesadarannya untuk menghargai
air. Hampir semua pelaku selalu menenteng mug/botol saat mengkonsumsi air,
mereka bersepakat tidak menggunakan air kemasan. Dan selalu mengingatkan semua
yang terlibat untuk meninggal sampah plastic saat meninggalkan lokasi shooting.
Sebuah kesadaran yang dimulai dari pelaku film untuk mewujukan alam yang
bersih. Diantara pelaku bahkan sempat berseloroh, “Kebersihan sebagaian dari
film Mantagi.” Bercanda memang, tapi ini harus serius disikapi.
Terlibat dalm produksi film ini, Ide Bagus
Putra, actor teater yang saat ini mengikuti program pascasarjana Magister
Teknologi Pendidikan (MTP) Universitas Jambi. Terlibat dalam film ini sebagai
tokoh utama dalam sikuel “Air Batu” di daerah merangin cukup membuat dia
belajar banyak terutama terhadap budaya film yang guyup antar daerah, edukasi
langsung terhadap kebersihan melalui contoh bahkan hebiet pemain membuat dia
merasa bangga bisa terlibat dalam film yang didanai Indonesiana ini. Ide Bagus
dalam film ini berperan sebagai pak Jamal, orang yang mencari pekerja tambang,
dan sangat dimusuhi.
Dia berharap proses shotting berjalan lancer,
dan sangat berharap rencana di bulan Agustus film ini akan tayang akan
terwujud. Karena banyak hal yang bisa diambil dari film ini. Diantaranya
kesadaran untuk kembali menghargai air sebagai sumber kehidupan. Film ini
sangat edukatif, banyak nilai budaya Jambi yang ditonjolkan. Semoga film ini
dapat diterima di ruang public pencinta film Indonesia dan membawa nama Jambi
lebih tercatat sebagai tempat pelaku sinema dan daerah yang indah.
Taufiq merupakan alumni ISI Yogyakarta, asli
putra daerah Jambi. Telah memproduksi banyak film documenter tentang
kebudayaan, tokoh/maestro seni di Jambi, terlibat dalam sejumlah film produksi
anak Jambi. Menyukai semangat gotong royong dalam memproduksi film dan
pemersatu tokoh dan selalu menggunakan kalangan muda untuk berkarya. (Anjungan Puisi Jambi, 02/08/25)
MEMBACA
“TASBIH BATANGHARI”:
PUISI SEBAGAI RITUAL KULTURAL DAN ZIKIR KONTEMPLATIF
Catatan Sederhana atas Kumpulan Puisi Ramayani Riance dalam Bingkai
Teori Estetika dan Kultur Sastra
Oleh Ide Bagus Putra
Dalam peta puisi Indonesia kontemporer, hadirnya buku puisi Tasbih Batanghari karya Ramayani Riance menandai suara baru dari tepian Sungai Batanghari yang bukan sekadar geografis, tetapi juga spiritual. Buku ini bukan sekadar sekumpulan sajak yang merekam suara personal, melainkan penanda hadirnya kesadaran budaya dan spiritual yang dijalin dalam larik-larik puitik dengan intensi religius dan lokalitas kuat.
Sebagaimana ditegaskan oleh Maman S. Mahayana dalam prolognya: “Puisi-puisi Ramayani Riance laksana merepresentasikan aktivitas, kepedulian, perenungan, bahkan juga obsesi penyair tentang sesuatu atau tentang banyak hal.” Dari pengamatan ini, kita bisa memulai bahwa proyek puisi Ramayani bukan sekadar estetik, melainkan epistemik membangun pengetahuan dan penghayatan atas ruang, waktu, dan eksistensi perempuan Melayu Jambi.
Konteks Teori: Sastra, Tempat, dan Spiritualitas
Puisi sebagai bentuk ekspresi estetik tidak bisa dilepaskan dari ruang dan kesadaran yang membentuknya. Dalam kajian sastra budaya, Edward Said dalam konsep imaginative geography menyatakan bahwa sastra adalah cara manusia menata kembali dunia dan ruangnya secara imajinatif. Ramayani memaknai ulang Sungai Batanghari tidak semata sebagai bentang alam, tetapi sebagai medan spiritual yang menciptakan relasi batin antara manusia, alam, dan Tuhan.
Puisi “Tasbih Batanghari” misalnya,
tidak membuka dengan metafora besar, tetapi dengan gambaran kontemplatif:
Puisi sebagai Zikir dan Ekologi
Spiritual
Dalam keseluruhan buku ini, kita
melihat bagaimana Ramayani mempertautkan antara puisi dan ritual zikir. Zikir
dalam konteks ini bukan sekadar pujian verbal kepada Tuhan, melainkan kesadaran
ekologis yang menjadikan alam sebagai bagian dari spiritualitas.
Perhatikan bait berikut:
Dalam metafora ini, penyair menjadikan rindu dan doa sebagai entitas cair, dapat dituangkan dan diminum. Di sinilah kita melihat perpaduan antara pengalaman batin dan pemaknaan atas air sebagai simbol spiritual. Jika kita tarik dengan teori eco-poetry (ekopuitika), puisi ini menciptakan hubungan harmonis antara manusia dan alam bukan sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai mitra sakral. Sungai adalah tubuh spiritual.
Konsep ini mengingatkan pada tafsir Martin Heidegger tentang “dwelling” dalam puisinya yang mendekati puisi sebagai bentuk “mendiami dunia secara puitik” to dwell poetically upon the earth. Dalam puisi-puisi Ramayani, kita menyaksikan praktik dwelling itu: sungai, candi, pasar, kopi tiam, dan terminal bukan sekadar latar, tetapi ruang ritual kehidupan.
Perempuan Melayu dalam Narasi Puisi
Salah satu kekuatan buku ini adalah
keberanian Ramayani menghadirkan suara perempuan Melayu Jambi secara autentik
namun tak sentimentil. Di tengah derasnya puisi perempuan yang hanya menjadi
repetisi luka dan cinta, Ramayani melangkah lebih jauh dengan menjadikan tubuh
perempuannya sebagai ruang zikir, ruang sejarah, dan ruang perlawanan.
Puisi “Tak Lagi Pita Merah Jambu
Membelenggu” menjadi contoh penting:
Puisi ini mengafirmasi keberadaan perempuan bukan sebagai objek, tapi subjek yang menyimpan bara, sejarah, dan narasi yang disangkal. Ia mengingatkan pada apa yang disebut Gayatri Spivak sebagai “subaltern voice” suara mereka yang selama ini tak terdengar. Ramayani menyuarakan perempuan Melayu tidak dalam bingkai eksotisme, tetapi dalam bingkai kesadaran dan spiritualitas.
Dalam puisi “Geliat Cita Fajar
Harimu, Ma”, penyair menuliskan puisi sebagai penghormatan pada ibu sekaligus
afirmasi atas perempuan sebagai penjaga ruang dan peradaban:
Puisi ini tak hanya bicara tentang kasih sayang, tapi juga tentang warisan spiritual dan kekuatan takdir perempuan yang berjalan di antara luka, sejarah, dan keberanian. Ini puisi yang bersikap, bukan sekadar melankolis.
Lokalitas sebagai Sikap Budaya
Dalam tradisi sastra Indonesia, banyak penyair jatuh dalam glorifikasi lokalitas secara romantis dan estetis. Ramayani melampaui itu. Lokalitas di sini bukan ornamen, melainkan tubuh epistemik. Ia menulis tentang candi Muara Jambi, Gentala Arasy, Batik Jambi, Rawa Bento, dan Terminal Rawasari tidak dalam nostalgia, tapi dalam fungsi pengetahuan.
Dalam puisi “Pesan Batu-Batu Merah
yang Tertimbun Waktu” ia menulis:
Puisi ini bersifat arkeologis. Ia merekam jejak peradaban, bukan sekadar mengaguminya. Lokalitas dalam puisi-puisi ini menjalankan fungsi seperti yang dikatakan oleh sosiolog Raymond Williams: sebagai bentuk “structures of feeling”, yaitu struktur emosi yang membentuk pengalaman kolektif sebuah komunitas.
Ramayani menulis dengan ingatan. Ia tidak mendongeng. Ia menziarahi sejarah dan menafsirkannya ulang. Dengan ini, ia menjadikan puisi sebagai medium memori kultural.
Estetika Larik dan Gaya Retorik
Jika kita menilik struktur larik dan bentuk estetik puisi-puisi Ramayani, akan tampak bahwa penyair menggunakan bentuk bebas, tanpa rima ketat, namun tetap menjaga irama batin. Diksi-diksinya padat makna spiritual. Gaya repetisi muncul sebagai penguat retorik, bukan sekadar hiasan.
Dalam “Doa Kanak-Kanak Pendosa”
penyair menggunakan pertanyaan retoris yang menyayat:
Ini bukan sekadar gugatan, tapi cermin dari pencarian eksistensial dan spiritual yang dalam. Dalam pendekatan psikokritik, puisi ini bisa dibaca sebagai mekanisme sublimasi mengalihkan konflik batin menjadi ekspresi artistik yang produktif.
Dan dalam struktur buku ini, banyak puisi yang menyisipkan lompatan temporal masa lalu dan masa kini, sejarah dan hari ini, silih berganti. Inilah cara Ramayani membangun waktu puitik: tidak linier, tapi spiral. Waktu dalam puisinya adalah waktu yang “kembali”, waktu yang “mengingat”.
Kritik dan Catatan Estetik
Meski secara keseluruhan Tasbih Batanghari adalah pencapaian penting dalam sastra lokal yang spiritual, beberapa sajak dalam buku ini terjebak pada pemanjangan larik yang tidak selalu produktif. Kadang metafora menjadi terlalu eksesif, menciptakan “bunga” yang menutupi akar pesan.
Misalnya dalam beberapa bait “Rawa Bento” atau “Di Mata Elangmu Aku Mendekap”, puisi melebar tanpa peningkatan imaji atau penguatan energi batin. Ini tantangan umum bagi puisi-puisi spiritual: ketika diksi menjadi terlalu berbunga, keheningan makna bisa terganggu. Namun, ini tidak merusak bangunan besar dari buku ini. Justru memberikan warna bahwa Ramayani tengah mengeksplorasi cara mengalirkan spiritualitasnya dalam larik.
Penutup: Puisi sebagai Daya Hidup
Tasbih Batanghari bukan sekadar kumpulan puisi. Ia adalah karya yang mempertemukan estetika, etika, dan ekologi spiritual. Ia menandai bagaimana seorang penyair perempuan Melayu Jambi menjalankan mandat kulturalnya dengan cara kontemplatif, jujur, dan berani. Buku ini adalah ruang sujud batin bagi pembaca yang ingin mencari bukan hanya puisi, tapi makna di baliknya.
Dengan buku ini, Ramayani Riance telah menorehkan satu babak penting dalam puisi Indonesia mutakhir: babak di mana tasbih, sejarah, dan perempuan bisa menjadi tubuh puisi yang satu.
“batanghari begitu menjaga damai di sini dalam kesederhanaan /santun menjaga basmalah dan alhamdulillah.” Ramayani Riance,
Anjungan
Puisi Jambi,
02
Agustus 2025
“SANG PEMBERI REZEKI”: PUISI AKAR, ZIKIR WARNA, DAN
TEGANGAN MODERNITAS SPIRITUALITAS
Oleh Ide Bagus Putra/penyair-owner Anjungan Puisi Jambi
Dalam karya bertajuk Sang Pemberi Rezeki, Harisman tampil sebagai sosok perupa yang tidak sekadar memamerkan bentuk visual, melainkan menawarkan medan kontemplatif yang mempertemukan ulang iman, makna, dan realitas. Karya ini, yang dipajang dalam Pameran Seni Rupa di Taman Budaya Jambi tanggal 23–29 Juni 2025, bersama 124 karya lainnya tidak hanya hadir sebagai sekadar obyek seni, tetapi menjelma sebagai ruang tafsir yang lentur dan dalam. Ia berdiri di antara persilangan makna yang personal sekaligus transenden, antara bahasa visual seni rupa kontemporer dengan akar spiritualitas Islam yang tetap hidup. Di tengah keragaman pendekatan dalam pameran ini, karya Harisman menegaskan posisinya sebagai penanda pertemuan antara nilai-nilai lokal dan wacana global yang bersatu dalam satu tubuh: kanvas yang diam-diam berbicara.
Akar
sebagai Metafora Eksistensial
Bentuk akar yang menjalar dalam bidang kanvas bukan sekadar pengganti figur manusia. Ia adalah representasi visual dari sistem kehidupan yang saling terhubung. Di tangan Harisman, akar menjadi lambang dari doa, harap, dan rezki. Tiga hal yang terus bertaut dengan Yang Maha Pemberi. Dalam pendekatan visual seperti ini, kita melihat semangat ikonografi kontemporer Islami yang tidak dogmatis, tetapi reflektif sejalan dengan kecenderungan karya-karya kontemporer di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara yang menjadikan spiritualitas bukan sebagai tema pasif, tetapi sebagai gagasan yang hidup dan berpikir.
Pusaran hijau di tengah bidang menjadi titik tarik visual yang bisa dibaca sebagai lubb intisari batin manusia tempat berlabuhnya makna dari segala hal yang tidak kasat mata. Kaligrafi yang terintegrasi dengan akar itu, dengan gaya Khat Naskhi yang populer karena kejelasan dan fungsinya dalam menyampaikan wahyu, menegaskan bahwa ayat tidak hanya dibaca, tetapi harus tumbuh, menjalar, menyerap, dan menjadi bagian dari tubuh spiritual manusia.
Kritik
Terhadap Keterputusan Konteks
Dalam pandangan saya, seni rupa Indonesia kerap kehilangan konteks spiritual dan kulturalnya saat menyerap modernisme Barat secara mentah. Harisman hadir sebagai kritik halus atas kegamangan tersebut. Ia tidak menolak modernisme, tetapi mendialogkannya dengan kearifan spiritual yang ia yakini. Dalam karya ini, ia tidak berbicara tentang Tuhan secara monumental, tetapi menghadirkannya lewat akar, lewat sistem halus yang diam-diam memberi hidup.
Ayat dari Surah Al-Ankabut ayat 62 yang menjadi fondasi karya ini bukan sekadar kutipan. Ia hadir sebagai sistem makna, sebagai pola, sebagai “jaringan ruhani” dalam visual. Harisman seperti sedang menulis ulang tafsir, bukan dalam bahasa kitab, tetapi dalam bentuk warna dan garis yang bertaut seperti doa panjang.
Harisman:
Melukis sebagai Zikir Panjang
Untuk memahami karya ini, kita tidak bisa memisahkannya dari sosok Harisman sendiri. Lahir di Kerinci, 1 Januari 1963, dan menetap di Padang Panjang, Harisman adalah seorang dosen, seniman, sekaligus peziarah ruhani dalam medan seni rupa. Ia bukan pelukis yang muncul sesaat dan menghilang. Ia konsisten. Ia membangun reputasi melalui puluhan pameran yang tidak hanya lokal tetapi juga internasional.
Dari “Zikrullah” di
Solok Selatan, “Ayat Kursi” di Tambo Art
Center Padang Panjang, “Salawat Nabi” di Surabaya, hingga “Sound of Minangkabau” di Amerika
Serikat, dan yang terbaru “Tafakur dalam Zikir” di Taman Budaya Jambi tahun
2024 semua karya Harisman menyuarakan satu hal: bahwa seni lukis bisa menjadi
perpanjangan dari zikir.
Ia adalah satu dari sedikit perupa kontemporer Indonesia yang berani konsisten menempuh jalur spiritual tanpa menjadi klise, tanpa menjadi repetitif. Karyanya tidak terjebak dalam estetika kaligrafi sebagai ornamen semata, melainkan sebagai sistem berpikir, sistem merasakan, dan sistem mengolah hidup. Itulah yang membuat karya Harisman tidak sekadar indah, tapi juga menghentak diam-diam.
Jambi
dan Ruang Tafakur Visual
Pameran ini berlangsung di Taman Budaya Jambi (23-29 Juni 2025) , tanah Melayu yang menyimpan napas lisan, puisi adat, dan spiritualitas sejak lama. Maka ruang ini tidak sekadar menjadi tempat pameran, tapi menjadi ruang tafakur visual. Di sinilah “Sang Pemberi Rezeki” tak hanya dipajang, tetapi dirasakan. Tak hanya dilihat, tetapi didoakan.
Sebagai penyair, saya merasakan energi itu menjalar. Dalam diam, saya mendengar akar-akar itu berkata: Rezeki bukan hanya datang dari langit, tapi juga dari kesadaran akan keterhubungan. Bahwa hidup adalah soal menerima, menanti, dan merawat apa yang dititipkan Tuhan, sekecil apa pun itu.
Penutup
Harisman tidak sekadar melukis ayat, tapi memupuknya, menyiraminya, menumbuhkannya dalam medium yang modern namun tidak lupa akar. Karya Sang Pemberi Rezeki adalah jembatan antara kanvas dan langit, antara garis dan getar batin, antara seni dan spiritualitas yang terus hidup meski kadang kita abaikan.
Semoga karya ini tidak hanya ditatap, tetapi juga diserap, direnungi, dan disyukuri. Karena mungkin, rezeki terbesar dari karya ini bukan pada warnanya, tapi pada makna yang ia tinggalkan di hati kita.
Anjungan Puisi Jambi, Juni 2025
Ide Bagus Putra



2. Sebagai ruang kreatif.
Musik dalam kehidupan pelajar kita

Tempoa Art Gallery- Jambi (9/2)menggelar musik indie “Dasawarsa” bertajuk “Dosa Senin dan Dosa Selasa.”
![]() |
(Dheni Kurnia Penyair Riau) |
Tempoa Art Gallery- Jambi (16/2) menayangkan film dokumenter tentang Maestro Wayang “Ki Sigit Sukasman” Nominasi Film Dokumenter Terbaik Festival Film Dokumenter 2009, dan Film Kehormatan Binnale 2009 karya sineas Jambi, Dimas Arisandi.
![]() |
(Dimas bersama pelaku Teater (Husni Tamrin) |
sangat menginspirasi
BalasHapus