ANTOLOGI



SAJAK-SAJAK IDE BAGUS PUTRA
"DEMI SENJA"
(Bongkarkelas Publishing, 2010)

dada
mencari masjid dipelosok kubur dada
semua  terkunci. azan menggelepar
tergolek diantara serpihan beduk
tuli di telingamu
(2005)



prahara
sebuah dangau di tepi hutan
sebuah kecapi menggigil di dalamnya
memeram nada dari seribu titik
punjangga membuat badai di pelupuk mata
(2005)



sujud
membaca gerai  gelombangmu
dalam zikir para sampan
menuju senja

ke pantaimu
daratkan penuh letih
pelayaran ini
(2007)



demi lampu demi gelap
bismillah
matahari redup
membiarkan aku
memukulnya
(2006)





daging
Setetes keringat meluncur di ujung duri
jatuh tepat di pelepah pangkuan bunda
jadi tetesan darah mengundang air mata
(2005)






kubur
Siapakah kau panggil azan
bukan sekedar daging
tulang darah atau telinga napasmu
(2008)



doa
kaleng penuh busa menggigil
menuliskan majas tentang hujan
parit-parit meratap. menampung beban laut
menjeritkan muntahan kapal

: kembalikan garam pada lautku
(2007)



usai
menetas di air matamu
akupun potongan daging
mendiamkan badai birahi sang bayi
bibirku bunting hendak meletus
sementara lidah telah sekubur empedu
nisan telah ditancap atas puisi
tahlilpun redup
dihempas
nya
(2005)



doa subuh
air matamu
mendidihkan penggorengan
nyala redup
padam
ku
(2005)



batin
mengelupas subuh ini
prahara beranak pinak membusukkan
pagar kepergianku
ke titik
(2005)


catatan waktu
kembali memeram air mata
terdedah dendam lama
belatungmu hinggap
membusukkan tungku
tempat cinta tertanak
asap dan abu
kutitipkan dalam imaji
surga galibmu
(2005)



sri
istriku, aroma bunga cempaka
belatung – belatung bergaung
mengoreskan durhaka perawanmu
(2005)




kubur
jadi ingin melukis jagat
sehitam rambutmu
tempat sehelai uban berzikir
tentang tanda
(2005)



hidup
dimanakah nisannya
sementara aku  berlari
mengejar kubur
(2005)



atas kukuh
kukukukukukuh tajam
atas perjalanan segala
saksi ke dalaman laut

kuh, nikmati lebur kianat
cintamu
(2005)



sajadah, aku teringat kusmanto
malam gerimis bertasbih
zikirku selebat hujan

kus, aku melihat pintu terbuka
di dalam masjid sajadah harum bunga kasturi

kus, melayang
aku dimabuk allah.
(2008)



yupnical

terakhirkah
jinak perjalanan
burung

sangkar nadi
(2005)





ayat darah
betis ayah ditumbuhi bunga
melati lukisan ibu
seorang anak menebasnya
ada kolam tempat kakek dan
nenek mencuci darah
(2006)





ayat ibu
setetes keringat meluncur di ujung duri
jatuh tepat di pelepahan pangkuan bunda
jadi tetesan darah mengundang air mata
(2005)


ayat nadi
nyala dikepung hitam
semutsemut meringkuh
bulan setengah pecah
di jantung ibu
(2006)



00.00
gerimis berbisik tengah malam
alas tidur basah
aku bermimpi tentang lautan
ada kapal nabi nuh

aku mencari-cari sepotong wajah
ide bagus, dimanakah engkau
(2008)



demi lampu
hujan menulisi malam
di luar kursi malas tertidur pulas
aku menyalakan betis istri
menulis puisi
bagi seorang ibu
(2008)



demi senja
ada secuil matahari di bibirmu
kunyahlah
atau kau muntahkan
(2005)




tanah pilih
telah  begitu pasar dadaku
tiang bertiti pusako lamo
hiasan keramik di sudut sejarah
hendak kemana engkau berangkat
(2006)






ayat dua
selokan dingin
pegunungan suci tempat
batubatu merenungi sunyi
penggerus sungai tak terbaca
(2006)



membaca
ketika kata menjadi lumpang
jadilah penampung keteduhan
sebelum retak digempur waktu
(2006)


makan sore gulai rebung
: kalian penititi dada ayah

buluh ranum di selimuti miang
hingga selurus alif di ba allah
ditampari angin
(2006)



kuala
ingatlah ketika lidahlidah gelombang
menjilat kakikaki bakau. di kuala atas
pompong nan sangat. kita membaca surat
dari camar saat pagi gerimis
kau mencari kerang dan teripang bersama adikadikmu.  nakal
(2006)




puisi
penyair dan bayi
tak ada beda
dengarlah tangisnya di gelap gulita
(2006)







kawan
tumbuh bunga di  betismu
tergoda memetiknya
tergores luka
(2006)



epilog sepotong sendal
mari kita tinggalkan kakikaki, bisik sepasang sepatu pada sendal. jangan, tegur terompah dari sudut tangga masjid. bukankah kita bagian dari peradaban jelasnya. Ya, kata pelan sebelah sendal yang nyaris putus talinya. belumlah tuntas kalimat itu dengan kasar lima jemari melemparnya ke tong sampah. yang lainnya meringkuk diserbu kaki-kaki.
(2010)


epilog sekuntum mawar
ada secuil daging, punya siapakah, kata duri pada mawar mekar. daging kanak-kanak, tadi ia menangis pada bundanya ucap mawar genit bergoyang. aku telah melukai sesal duri. biarlah setidaknya ia belajar hakekat keindahan, mawar menggurui. kemudian angin ganas yang mendengar percakapan itu menampari kelopaknya hingga guguran.
(2010)


epilog
jalanan setapak telah ditumbuhi rumput” keluh roda pedati pada daun guguran. celakalah kuda” kutuknya pada sibengal yang berlari meninggalkan kereta. o, jalan yang merana.
(2010)


*
telah berpulang ke rahmatullah dengan tenang hari ini pukul 12.00 WIB. ide bagus untuk dijadikan puisi. semoga beliau tenang di alam imajinasi dan yang ditinggalkan diberi ketabahan untuk menjalani kehidupan sebagai penyair. aamiin

*(18 Desember 2009)




SAJAK-SAJAK IDE BAGUS PUTRA
 "SEGITIGA SIKUSIKU"
(Bongkarkelas Publishing, 2018)




ayat senja
memancang seperti alif di gentala arsy
memandang perahu pulang berkayu suara azan
di sela suluh mulai bernyala
mengantar upik dan kulup pergi mengaji
menerka makna senja

                                                 



larik patah
di ujung terminal
kita masuk ke perut bumi
mencari kamar di lantai tujuh
menunggu seorang sahabat
yang meminta petunjuk

menjumpaimu 


                                               



membaca perih
maka aku memilih bungkam ketika kata tak lagi manjur untuk mengetuk hati yang beku
pun aku tulis sajak sebagai pengobat luka

tak ingin berkias padamu
diksiku telah lesap di tanah-tanah retak mewakili hati yang meletup
jika hari-hari aku tambal luka dengan nasi lusa
sambil meremas seiris keripik penyedap rasa
sebenarnya aku sedang belajar hidup tanpa mengeluh sambil menyiram bunga bangkai di kebun sendiri

sesungguhnya, bila perih ini aku redam
karena perjalanan sudah cukup jauh
enggan untuk kembali karena canda kanak-kanak terpantul di mata kecil warisan rahimmu
mereka adalah perih masa kecilku yang masih tersisa
maka aku maknai perjalanan sebagai menerobos tumpukan daun kering yang bernyanyi

tak ingin rasanya menyalahkan angin
karena telah menutup lintasan dengan guguran dedaunan

tak pula ingin menyalahkan dahan yang lelah digayuti ranting hingga merunduk

aku hanya ingin membaca waktu yang berlari perlahan
sambil melangkah menyebut nama-Mu hingga sampai di ujung jalan
dan berharap menemukan kursi tua tempat melepaskan penat.
walau sekejab

                                                     



lantas mau kau sebut apa aku?
penghianat
karena tidak mau hormat pada benderamu
sementara hormatku hanya pada tuhan semata
penyebab segalanya ada

lantas mau kau sebut apa aku?
tidak pancasilais
karena tidak pernah lantang membacanya
sementara membaca kitabku melebihi segalanya
karena dari situlah segalanya bermula

lantas mau kau sebut apa aku?
PKI
dan mengancam laporkan polisi
karena tidak pernah menyanyikan lagu bangsamu
sementara membaca suara-suara Tuhan
membuat aku lebih bersyukur
memiliki negeri yang harusnya ditenggelamkan seperti zaman Nuh ini

lantas mau kau sebut apa aku?
anjing
babi
maaf aku manusia
hanya anjing dengan anjing yang saling menyalak
babi sama babilah yang saling seruduk
sekali lagi maaf aku

lantas mau kau sebut apa aku?
makar
karena tak paham simbol-simbol negaramu
sementara sesungguhnya dengan agamaku
aku mencintai negeri ini
karena rahmat Tuhan yang luar biasa
sebuah negeri yang merdeka
terutama pada para penghujat
sehingga aku tak leluasa menjalankan
sila pertama yang kau bangga-banggakan itu

lantas mau kau sebut apa aku?
panatis, membabibuta, Islam kiri, teroris
dan segala macam hujat
karena tidak serupa denganmu
sesungguhnya kau saudaraku
seharusnya kau bungkam mulutmu
karena fitnahmu telah membunuhku
namun, anehnya para pembunuh justru
hidup merdeka di negerimu

lantas mau kau sebut apa lagi aku?

                                              



membaca siku
ruang persegi berwarna hitam
di dalamnya dua titik siku-siku
pasrah terbuka menunggu ujung jangkar membentuk sebuah lingkaran
sebuah pengaris membaca inci demi inci

setiap garis nyata yang melengkung di kertas berwarna merah yang tumbuh beragam bunga: alangkah sedapnya aroma candu di tetasan keringatmu, racun pembunuh para pemabuk

dengarlah pemabuk meracau
“wahai pemilik angka, aku lupa berhitung atas seribu garis di ujung bibirmu
malam begitu gelap membungkus desah kita, sepertinya detak jam pun mengugurkan angka ditubuhnya. membiarkan kita menjadi bulat dan berkembang setelah berdiri diangka sembilan, jemari terus memburu siku-siku di ruang persegi tubuhmu dengan hembusan satu satu.”

seperti angin angka satu dibibirmu menjinakkan pemabuk
di ruang persegi berwarna hitam
seekor kucing berwarna sama dibungkus kegelapan
tak jelas terlihat raut laparnya,
ujung-ujung kukunya kehilangan cakar
napasnya meracau
napas pemabuk

“kepalaku meletus,” teriak pemabuk menghamburkan ribuan angka-angka tanpa terhitung jumlahnya
jadilah seperti hujan
kemudian memenuhi sungai-sungai
mengalir deras menuju laut

lihatlah lautan angka bergerak
seperti gelombang
memburu pemabuk
tak terhitung jumlahnya

di mata pemabuk
angka adalah dirimu
yang meletus dikepalanya
kemudian menjadi satu

                                    



mencari sampan
lantas aku mencari sampan
saat semua telah berangkat,

tinggallah dermaga sepi
dayung yang patah

tali-tali yang terkulai
pancang-pancang yang kaku

aku jadi ingat chairil
inilah senja di pelabuhan kecil

dan kini
aku sendiri

                                     



manabismillah
Sunarya Nanang Kepada 

bermula asal kata demi
bunda sajadah rahim dari sungsang ini sajak
gunung hamparan diam zikir dari
terjaga yang langit dari
menggugurkan yang sore gerimis dari
abadi persinggahan jadi jam detak
bismillahi
bermula sajak segala sinilah dari
pencipta sang pada mesra berbisik
mewangi kembang menaburkan 

                                 




negeri yang subur
bibir runcing tajam diraut
mewakili ketamakan lelaki tua atas anggur yang terserak di atas meja
wahai penunggang angin
bibirmu yang ranum mengoyangkan botol arak yang mengelinding sampai diujung siku siku
lelaki tua dimainkan angka-angka atas luas tanah subur di depannya
maka bermeter-meter panjanglah cangkulnya bermain birahi
sambil menaburkan seribu bibit di tanah yang terbuka

wahai negeri dengan tanah yang subur
jadilah engkau sawah
sajadahku bagi padi-padi yang merunduk

wahai negeri dengan tanah yang subur
terimalah tubuhku tempat berkubur

wahai negeri tanah cintaku

                                      





sajak
telah kulipat sajak terakhir dalam bentuk pesawat kertas
dan kutitipkan pada angin untuk mengantarnya pada rumah tak beralamat

namun hujan berpeluk angin
mengetuk-ngetuk pintu rumahku
mengantarkan perahu-perahu kertas
dengan tulisan beribu sajak
yang mengaku anak haramku

aku tahu ini bukan bulan Juni
aku tak pernah selingkuh dengan Sapadi
tak benar-benar cinta dengan Yogiswara
tak pernah seranjang dengan Asro
apalagi bercumbu dengan Maizar Karim 

Jadi, ini sajak haram siapa?

Kau tahu, alangkah cantik namanya
Corona.
                                   





sajak tentang dongeng matahari
“Selamat pagi ananda,
adakah diantara kalian yang mencuri matahari
hingga begitu gelapnya bumi,
atau kalian sengaja mengambilnya diam-diam
karena takut disalahgunakan.”

“Kenapa diam,
apakah kalian juga tidak percaya kepada bapak?
Saya ini gurumu.”

“Ya, sudah. Hidupkan senter kalian, perhatikan papan tulis!”

Senter pak guru dan murid menyala, kaget ia berseru,
“Siapa yang menulis ini?”

Semua menunjuk dan serentak berkata
“Ya, kamilah yang menulis!”

Pak Selamat terdiam di hadapan mata-mata kecil bernyala
jiwanya disulut membara, membaca:

Kami yakin siapapun yang mencuri matahari
pasti di tangkap KPK, karena itu termasuk korupsi

Perlahan kalimat itu semakin terang
menjelma seperti matahari
di upuk pagi sempurna bibir kanak-kanak Indonesia

                                  




Seperti
“Seperti siapakah KPK?” di depan siswa SMP
guru memancing bertanya.

“Seperti Soekarno, gagah dalam rupa dan kata,” kata Putri
Kenes dan lugu.

“Seperti Hatta, berkacamata bijak, hatinya untuk bangsa,”
Kata Rizky sedikit berdeklamasi.

“Seperti Muhammad, bertitel al-amin sebelum diangkat
menjadi rosul.” Kata Kusmanto bernada dakwah.

“Seperti Om Bob, bukan maling berkedok pengusaha,
karena maling tidak mungkin menangkap maling.” Kata Monika
dengan gestur Surya Paloh.

“Seperti Sudirman, tersekap dalam tandu, tetapi tetap teguh
untuk merdeka. Koruptor itu penjajah juga.” Kata Ambo
setengah murka.

“Seperti Cak Lontong, konyol tetapi tetap tegas sikapnya,” sedikit melucu
Rozi menyatakan pendapatnya.

Waktu berdetak antara sunyi dan geram ingin tertawa.
dalam sebuah tanya, “Apa benar, atau seperti....”

                                       




“KPK sudah mati”
SMS itu menaburkan bunga di kelopak mata
dan pintu tertutup menjadi terbuka
mengabarkan kelahiran seribu bayi dengan tongkat musa

“Korup, mana sungai bebalmu yang harus dibelah.”

                          


dalam mimpi tanganku dipotong-Potong
tubuhku esrupa kancil

“Dialah yang mencuri ketimun.” Teriak pak hakim memukul meja,
tanda sidang telah diputuskan, sambil tangannya meraba-raba
mencari palu.

Palu pak hakim dilarikan musang, bebek berseteguh menjadi saksi.
Ayam diminta memberi keputusan. “Kuku ru yu” disambut ayam-ayam yang lain.
dari dekat segerombolan serigala menyanyikan lagu potong bebek angsa.

Angsa berdandan rapi, ke luar sebentar dari jeruji, jalan-jalan ke Bali,
terbang belanja ke Singapura, hingga duduk santai di warug kopi.
Wajahnya ramai di televisi, dengan iklan seorang nenek di penjara karena mencuri kayu api.

Api menjalar membakar jengotku.
“Astafirullah, alangkah jahatnya mimpi”

Di cermin aku melihat wajahku tanpa jengot, selintas serupa Gayus.
“Astafirullah.”


    
                                     

dinding-dinding merdeka
Mari robek buku kalian lemparkan kata-kata ke dinding-dinding sambil menari mentertawakan kebodohan PR yang beku, mari patahkan pena-pena kalian, lemparkan ke lonceng-lonceng biar mencerit tak tentu, berlarilah ke halaman, bermainlah liar di derai hujan, hentakakan kaki-kaki kalian di genangan air, biar muncrat ke dinding-dinding kelas yang suci.

Mari kita tinggalkan kelas-kelas, biar otak-otak simpul beku, gagu,
kehilangan gigi dan menyalahkan kita sepuasnya, “dasar anak-anak bodoh”
biarkan mereka mengumpat sejadi-jadinya
yang pasti kita telah merdeka dari kepungan ilmu-ilmu tanpa guna
karena ilmu berkelahi dengan ganas merupakan tantangan besar untuk menghadapi
jalan-jalan yang penuh dengan begal.

Ayo kita tinggalkan bangku-bangku, lecut kakimu penuh liar, berteriaklah seperti rendra merobek kesucian gereja, dan terjanglah jalan-jalan yang luas. kita jemput kelas hidup yang sebenarnya, kita berguru pada waktu yang ganas. Marilah kita namai dinding sepanjang jalan
dengan tulisan pendidikan kandang babi. Karena disitulah ditemui stempel dan ijazah kelulusan kita.


                                     


sajak 2/4
Corona, sajak benci namanya. Lebih suka disebut haram.
tumbuh semakin dewasa dalam tubuh antologi tak bertuan.
sajak tak lagi mengaku sebagai anakku. Sekarang tuhan.

Sebagai tuhan. sajak persembahkan haid pertamanya padaku
Kemudian merobek lembaran kitab sutardi dengan cinta yang tolol
mendokumentasikan luka nikmat pertama. Mengeong serupa kucing.

-walau penyair besar takkan sampai sebatas allah- lembaran ini
diremas sambil melepaskan kutang. Sambil meruncingkan punting susunya
serupa segitiga, menjadi rumus matematika paling sempurna.

Sajak tinggalkan kasur, rak-rak buku penuh kitab
dan penyair tua yang sekarat

sajak butuh pelukan babi
mempersembahkan isi dadanya pada perhitungan sama sisi
mencari detak lumpur yang berdenyut
dan kau tahu bibirnya yang subur dapat ditanam bejuta biji.

Hari ini sajak yang haram itu telah menjadi candu
menjadi tuhan

sesembahan yang bernama ketakutan.






sajak ¾
(kepada nurul dibaca hendri)

menunggu tunggulametung
membunuh raja tanpa harus mengambil istrinya
di negeri gilo babi

tapi ini bukan bulan juni





sajak 24/5


Kembali pada rumah sunyi
seperti bapak mengaji untuk berbicang-bincang mengusir peluh

sudah kutanam sajak pada tanah yang diperebutkan
dengan alasan dendam masa kecil
karena dibiarkan tumbuh liar mencari makan pada suara-suara malam

Kini tanah tinggal sejengkal
tempat merebahkan sajak dengan sebuah nama di atasnya
: antologi puisi bin sastra


Di atasnya manusia beradu mulut dan cakar
dengan alasan kajian entah kepada siapa



 


kisah penyair bernama asy syu ara
Seorang penyair berpikir bagaimana berzikir
Seribu setan berpikir bagaimana mengoda penyair

Seorang penyair seribu setan
Bertengkar di malam seribu bulan

inna lillah wa inna illahi rojiun
penyair itu meninggal
sahid bisik para setan

puisinya terselip di dalam Alquran kusam berdebu





imajinasi mau dalam lingkaran hitam
Muhyiddin
lagi tiada kuas
kanvas. Hanya infuse dan alas
kasur kumal berwarna pucat

Oh, begitu indah rupamu
walau bernama maut

Din, jauh berbeda
rahasia dalam bulatan hitam

mata diantara kita
bersipat ada rupa tiada
lebur di Kau





simponi alam
Kami rindu suara-suara alam
yang kini hadir lewat puisi
nyanyian jangkrik ditingkahi suara kecapi
suara kodok menghadap bulan
memanggil sang hujan datang
lembut bayu membelai kami
inspirasi suling temanku

Kami rindu suara-suara alam
yang kini hadir lewat puisi

Nada syahdu air mengalir
aroma bunga berbisik daun
canda riang binatang hutan

Kami rindu suara-suara alam
kami rindu simponi
maha karya ciptaanMu



menulis puisi tentang tikus
Tepat tengah malam puisi menjelma
menjadi tikus

Sekerat demi sekerat seirama dengkur
kaki tempat tidur menjelma ikan asin

Tapi ranjang tak jatuh tak tega
membangunkan penyair
Sekawan dengan kasur ranjang membujuk
sang tikus

Kus, sebagai penyair tentu ia bahagia
sebagai seorang guru jangan
tambah kesengsaraannya

Tikus merunduk jadi talas
sarapan guru esok hari





bahasaku
masih terdengar lantang menderu
diucap pemuda gagah berseru
: berbahasa satu bahasa Indonesia

bahasaku
masih terdengar elok berlagu
jadi madu tutur bangsaku

bahasku
bahasa Indonesia
tetes embu penyejuk rasa
ungkapan mulia

 

embun
Semua subuh sujud padaMu
sebutir embun berzikir meniti daun
runduk bertasbih
menjelma fitrahNya

Embun
setitik ayat maha semesta
menjemput musnah
tiada dalam esa

Embun
ayat
di bumi
Allah




sajak sederhana tentang jenggot
Tidak semua laki-laki berani berjenggot. Di kampungku hanya ada tiga lelaki. Pertama ayahku, kedua ustad Lekok, dan ketiga Bujang Tuhang, ayahku berjenggot setelah ia menyatakan diri masuk Islam. Ustad Lekok jenggotnya sudah memutih dan panjang seolah menandakan kedalaman ilmunya. Sedangkan Bujang Tuhang berjenggot dengan alasan sederhana karna ia anak Band. Biar trendi katanya, kayak Ahmad Dhani.

Semenjak tragedi bom meledak lagi. Laki-laki berjenggot tinggal satu, yaitu ayahku. Ustad Lekok telah mencukur jenggotnya menjelang satu minggu kematiannya. Ustad Lekok memang sudah tua. Tapi sayang ia tidak mati gagah bersama jenggotnya. Ia mati bersama dagu perempuan katolik. Ayahku hanya tersenyum mendengar selorohku sambil memotong celana di atas mata kakinya

Sedangkan Bujang Tuhan mencukur jenggotnya karna mendengar saran drumernya. Kalau tidak ingin dicurigai atau ditangkap buang jenggotmu kata sohibnya. Sedikit tidak rela Bujang Tuhan meyudahinya di depan cermin disaksikan para Dewa bintang idolanya.

Ayahku memang satu-satunya laki berjenggot di kampungku. Kini ia entah kemana setelah sholat Isya ayah tak pulang. Hingga emak menyuruhku mencarinya. Kata emak bersama hilangnya ayah
tak ada lagi suara azan, suara ayat-ayat suci, lafas zikir, dan suara anak-anak belajar mengaji.

Langgar kami persis cerita robohnya surau kami AA Navis

Kini aku kembali. Tegak persis di tempat ayahku menghilang. Menatap langgar lapuk. Sambil mengelus jenggot, sambil berzikir, sambil menatap jauh. Samar kudengar anak-anak berteriak.
Laki-laki berjenggot, laki-laki berjenggot. Entah berkabar pada siapa.




kaslani* bukan dongeng
Pernakah engkau membaca dongeng dari Jambi?
Jika belum, lihatlah ke tanah dimana engkau berpijak

Jika sudah, pernahkah terlintas dibenakmu membaca seorang yang bernama Kaslani.
Laki-laki sederhana dengan langkah menyala. Berkeyakinan keberhasilan harus diperjuangkan.
Hidup bukan keberuntungan. Takdir bukan garis-garis di telapak tangan.
Hidup adalah langkah-langkah menyalakan api.

Pernakah engkau membaca dongeng dari Jambi?
Dogeng itu bernama Kaslani. Laki-laki sederhana tempat sejarah ia tuliskan.
Tempat membaca riwayat leluhur. Tempat mitos-mitos bermula.


Pernahkah engkau membaca dongeng dari Jambi?
Guru sederhana itulah penulisnya.


                 *Kaslani, seorang guru swasta yang mengabdi di Yayasan Sariputra dan penyusun kumpulan                                                          dongeng daerah Jambi terbitan Gramedia

 


bang musa
Tiada tempat bagi orang cacat seperti Bang Musa di masjid kota kami. Apalagi di supermaket,
di mushola sisa sudut-sudut ruang. Di rumah atau sap terakhir. Bang Musa sholat berimam batinnya sendiri. ia tak bisa melesat cepat. Sementara iman kami berpacu seperti motor keluaran terbaru. Apalagi saat 23 rakaat sunat harus dituntaskan.

Bang Musa laki-laki berkopiah kaki satu. Ia bukan nabi tongkatnya dari pohon jambu.
Di jalan tongkatnya imam penuntun langkah-langkah.
Di masjid imam kami bertongkat ukir dari pohon jati menemani dua kaki sempurna

Bang Musa laki-laki bertongkat tinggal bersebelahan dengan masjid kami. Jika azan di batas akhir,
ia mendekat ke jendela. Ia bertakbir seperti takbirku. bertakbir seperti imam. Sementara imam kami telah berzikir memanggili tuhan dengan lantang. Bang Musa baru menyelesaikan rakaat terakhirnya.

Bang Musa laki-laki bertongkat. Laki-laki di samping masjid kami. Jika waktu sholat ia memandang ke bingkai jendela bertakbir sendiri.





menyapo kelam

Pak wo baung
Mak lung keli
Bujang selontok

Mano lubuk tempat pantun tesuruk
Mano lubuk tempat syair melapuk
Mano lubuk tempat gurindan terpendam
Mano lubuk tempat mantra
Masih puh
Penuh tuah

Oiy, senarai batanghari tempat segalo menghilir
Bawalah sapo ini mengalir

Oiy, do balam
Cik tiung
Busu puyuh
Mano bunyi kepakpun hilang
Katonyo rajo punyo negeri

Petatah-petitih tuo tenganai mano kaji dipuji-puji
Mano petuah mano buah mano darah mano tanah
Mano kalah mano sejarah
Mano dimano Dikau

Pak wo Baung
Mak lung Keli
Bujang Selontok
Do Balam
Cik tiung
Busuh puyuh

Sajak lamo menyapo kelam
Sajak mudo diusap-usap serupo pualam
Dak dalam-dalam





menbaca sunyi
Ku temukan juga jawaban dari sunyi. Bahwa tak segala musti dijawab
Kemudian ada jalan terbuka. Harus dirambah langkah ini
Tak perlu tahu jalan harus sampai di mana. Karena jawaban terbentang di ujung.
Berjalanlah menuju ledakan kagetmu

Ku temukan jawaban dari sunyi. Bahwa segalanya tak musti ada jawab
Tak harus menduga-duga dan anggap ini sebuah teka teki
Karena kehidupan sudah jelas jawabannya
Mematahkan segalanya

Bahwa segalanya tak mesti dijawab, bisik angin yang sunyi
Jadi biarkan mengalir, rasakan saja desirnya
Jadilah daun yang mengiklaskan segalanya ke entah
wujud perjalanan mana

Mengapa menuntut jawab pada sunyi
Kalau segalanya memang tak harus dijawab
Dan bagaimana makin digugat kalau sunyi itulah sebuah jawaban

 



Di manakah kau sahabat?
Sudah lama kita tak mencari akar kata yang tersuruk
Pada mantra atau suara moyang mengumpat luka

Di manakah kau sahabat
Sudah lama kita tak minum secangkir
Berebut nasi
Mentertawakan nasib yang usang

Di manakah kau sahabat
Berapakah anakmu
Manakah wajah istrimu
Cobalah kita bertemu
Dan saling hina mentertawakan
Kekurangan yang menjadi kelebihan kita

Di manakah kau sahabat
Sudah lama kita tak sepanggung
Memainkan nasib sendiri
Kemudian menontonnya bersama-sama
Kita pura-pura sedih ketika kau dan aku menangis
Kita pura-pura bahagia ketika kau dan aku tertawa
kita jaga pintu pertunjukan
kita robek karcis
kita bertepuk tangan
kita biarkan penonton pergi
dan mungkin kapok untuk kembali

di manakah kau sahabat






"PAPAN TULIS MENCARI TUHAN"
(Bongkarkelas Publishing, 2020)


                                    BABI MASUK SEKOLAH, ANJING MASUK MESJID 
                                    KEPALA PENYAIR DIMAKAN KUCING, 
                                    ANAK SIAPA DIKURUNG KELAS, 
                                    SEBUAH SAJAK MEMINTA SANTUNAN

 
Jeruji itu dinamai kelas, tempat semua yang jernih dikeruhkan,
Tempat yang keruh semakin digelapkan, tempat yang terbentang luas dikecilkan
Tempat sayap yang lebar dipatahkan, tempat yang bisa berlari kencang dilumpuhkan,
Tempat imaji yang liar dijinakan, tempat yang gelap dipuji-puji sebagai tempat yang terang
Tempat agama tuhanan menjadi angka lalu diperdebatkan, tempat manusia dijadikan binatang
Dengan sertifikat palsu dengan dalih dicerdaskan
 
Jeruji itu dinamai kelas, di dalamnya ada tali bernama kursi
Ada kebenaran satu yang bernama papantulis
Ada spidol yang menjelma menjadi tuhan
Dipegang sang maha benar bernama laporan
O, babi 
Betapa tahinya yang menitipan anak-anak yang suci ke dalam pelibahan
Alangkah tahinya
 
Jeruji itu dinamai kelas, tempat presiden digantung, tempat
garuda bersarang tanpa suara, tempat pancasila cuma hapalan
tempat sang merah putih tersudut kehilangan makna
“jeruji itu dipuja kepala tahi yang meminta anaknya menjadi juara
sementara bercerita tentang dirinya saja ia lupa menemukan kata
dan tak bisa menemukan jalan pulang bila tak dijemput maminya”
 
Jeruji itu dinamai kelas, tempat puisi dipaksakan untuk ditulis
Tempat baju harus dimasuk ke dalam celana,
tempat sepatu bersekutu menjadi satu warna
tempat perbedaan dikuburkan dengan dalih peraturan
tempat seonggok tahi dilepaskan dengan macam-macam kata sambutan
tempat alasan negara berhutang dan menghambur-hamburkan uang
 
jeruji itu dinamai kelas, pasar gelap tanpa pajak
tempat para peminta-minta, tempat judi, tempat bermain game
perusahaan abal-abal para kadal sipit berperut buncit,
tempat amit-amit cabang bayi
(mohon maaf sajak ini terganggu: ada para mentri minta ditonton bermain tiktok, ditayangkan)
 
Jeruji itu dinamai kelas, dan seorang laki-laki pemilik jalan
Datang padanya dengan kata-kata merdeka 
Anjir kita belum bergerak, dan aku baru sadar kelas-kelas dijaga nini-nini dan datu-datu
Bernama batu
 
Wahai penyair, wahai guru
Menjadi guru pada hakekatnya adalah penyair,
menjadi penyair pada hakekatnya adalah guru
dan Ketika menjadi keduanya
dia adalah tuan rumah kata-kata yang sejuk
namun sejak lama kepala penyair dimakan kucing
kepala guru dimakan anjing
Dan tubuh tanpa kepala itu mencari-cari tunjangan hidup
Belajar berhutang pada negara.
 

Anjungan Puisi Jambi, 18/07/20




















 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar