REPLEKSI: 13 tahun teater
Q
Tahun
2003 teater Q bersama almarhum Ary Setya Ardhi, Sakti Alam Watir, dan Ansori
Barata berkesempatan mengikuti Festival musikalisasi puisi di Cibubur-Jakarta.
Hadiah dari perlombaan tersebut adalah 10 peserta terbaik akan diberi
kesempatan tampil di teater kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta. Teater Q adalah
peserta termuda, satu-satunya peserta dari SMA, selebihnya adalah kemunitas
musikalisasi puisi yang berada di universitas dan Kelompok Pengamen Jalanan
(KPJ). Alhamdulillah, teater Q
menjadi salah satu komunitas yang berhak tampil di TIM. Inilah pengakuan
pertama yang membuat teater Q PeDe
untuk meletakkan lebel komunitas musikalisasi puisi di bawah namanya. Saat itu
musikalisasi puisi belum populer seperti sekarang.
Seperti
pulang dari “kawah candradimuka” teater Q berapi-api melahirkan garapan
musikalisasi puisi, sejumlah karya-karya tersebut kemudian di pentaskan dalam
konser musikalisasi puisi bertajuk “Kidung Matahari” (2003) dan “Senandung Anak
Langit” (2004). Pentas yang sangat membanggakan tersebut bertempat di Taman
Budaya Jambi, sebuah tempat yang cukup melegitimasi keberadaan sebuah komunitas
seni. Sebagai satu-satunya kelompok musikalisasi puisi, teater Q seolah-olah
berkibar sendirian.
Sederet
pementasan undangan akhirnya menghampiri teater Q, diantaranya yang sangat
berkesan adalah tampil di ribuan mata dalam peringatan hari buruh sedunia di
GOR Kota Baru jambi, dan peringatan kepergian almarhum Ary Setya Ardhi. Awak
teater Q saat itu adalah Nanda (vokal), Trisna (vokal), Vera (vokal), Intan
(vokal), Zizah (vokal), Yuliansyah (bass), Irwansyah (drum), Galuh (gitar), Rio
(boya), Romi (rebana biang), Wahyu (rebana sett), Ratna (marakas), Yudi (bass),
Yuki (gitar), Hendri Nursal (deklamator), dan didukung oleh awak panggung Ida,
Titik, Resi, Frans, dan Ricky Jo. Di bawah asuhan langsung Junara Arianto yang
ikut memperkuat posisi teater Q sebagai komunitas.
Sempat
meredup, teater Q kembali bangkit bangkit tahun 2008 sebagai pemenang Festival
Musikalisasi Puisi Tingkat Provinsi Jambi dua tahun berturut-turut. Seperti
diberi kesempatan untuk berkibar, teater Q akhirnya berkesempatan tampil
kembali di Taman Ismail Marzuki Jakarta dalam Deklarasi dan Konser Bersama
Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (KOMPI). Teater Q saat itu diperkuat
oleh Agnes-Maria-Frilly (vokal), Sopan (gitar), Budi (bass), Ardhi (bass), dan
Haru-Hari-Robi (perkusi). Tahun-tahun ini urusan belakang layar dibantu oleh
seorang sarjana agama yang ikut peduli terhadap perkembangan teater Q, yaitu
Kusmanto, S. Ag.
Jam
terbang untuk manggung banjir, bahkan teater Q bisa melakukan pilihan. Diantara
aksi panggung yang harus dikenang Pertemuan Penyair Se-Indonesia, Temu Perupa
Se-Sumatra, Peringatan Hari Pangan internasional di Batanghari, Peringantan Hari
bumi WALHI di WTC Batanghari Jambi, Kelompok pembuka festival Band Indosat di
GOR Kota Baru, dan Konser Tunggal Ramadhan di WTC Batang hari.
Satu
yang tak mungkin terlupa tampil kecewa di Festival Musikalisasi Tingkat
Nasional di Pusat Bahasa Jakarta sebagai pemenang harapan III. Saat itu awak teater
Q seolah kiamat menghadapi kenyataan panggung yang terkadang terasa sangat
aneh. Saat itu pula teater Q berhadapan dengan kenyataan bahwa betapa sulitnya
memiliki nama besar (atau merasa sudah besar). Menang dihajar, kalah dihujat.
Di
puncak kekalahan dan kemenangan, awak teater Q juga eksis dalam panggung
Festival Band. Akhirnya sebuah keutuhan komunitas memang harus diuji
“kematangan”nya. Tidak ada lagi titik focus. Teater Q harus berhadapan dengan
pilihan peremajaan, sebuah pilihan yang akan dihadapi sebuah komunitas teater
yang berada di tingkat sekolahan. Tumbuh-kering-gugur-tumbuh kembali. Masa-masa
transisi seperti ini cuaca atau kondisi alam sangat menentukan. Daun-daun muda
teater Q terkadang tumbuh subur, terkadang kering sebelum usia. Pada kondisi
inilah seharunya peta kekuatan terbaca.
Selanjutnya
teater Q mencoba beranjak dewasa secara normal, hidup dalam kalah dan menang
sebagai kenyataan hidup yang harus dihadapi. “Hidup sebagai puisi, terbaca atau
terselip dalam rak tak beralamat.
Dalam
sejarah teater tak boleh dilupakan adalah kerja keras Mariska-Taqwa (vokal), Andi
(boya, drum sett), Ismail (rebana biang sett), Faik (bass), dan Ebit (gitar)
untuk mengangkat kembali keberadaan teater Q, walaupun hanya mampu memperoleh
gelar juara harapan III dalam ajang Festival Musikalisasi Puisi di Kantor
Bahasa Provinsi Jambi. Setidaknya mereka telah menambah deretan tropi koleksi
teater Q.
Takkan
pernah terlupa juga awak teater Q angkatan 2011. Dini (vokal), Adi (gitar), dan
Gugum (boya sett) garda depan yang memperkuat teater Q untuk tercatat dalam
sejarah lomba musikalisasi puisi tingkat provinsi Jambi sebagai juara harapan
III. Merekalah juara sejati, tanpa kalian “Konser Bumi” takkan pernah ada, dan tanpa
kalian penampilan teater Q di penutupan Pertemu Penyair Nusantara (PPN) VI di
hotel Sangratu hadir tanpa kekuatan.
Berdiri
16 Juli 2001, Kini usia teater Q sudah 13 tahun. Jika diibaratkan seorang anak udah ES EM PE. Kembali teater Q berhadapan
dengan episode lama. Menang disajung, kalah dihujat. Namun, kali ini teater Q agak lebih sabar, puisi
telah banyak memberikan pelajaran: Hidup memang harus seperti itu. Kalau minjam
bahasa gaul anak Jambi, “Biaso be.”
Teater
Q baru-baru ini kembali berjaya memenangkan Festival musikalisasi Puisi Tingkat
Provinsi, dan berhak tampil mewakili Jambi di Festival yang sama di Tanjung
Pinang berhadapan dengan 10 peserta terbaik dari masing-masing provinsi. Namun
hasilnya tidak memuaskan, hanya bisa menjadi harapan 1. Tapi tak apalah yang
jelas teater Q sudah mencoba memberi yang terbaik. Maafkan teater Q: Jambi, sorry Mr. Yon, dan maaf Om Pandu. Maafkan
kami Attaufiq tercinta, Teater Q belum bisa memberikan yang terbaik.
Untuk
seluruh awak teater Q semua angkatan, ayah bangga, karena kalian hidup terasa
lebih berwarna.
Jambi,
Juli 2013
Ide
Bagus Putra
Ayah mempunyai banyak pengalaman
BalasHapus